12 Januari 2012

Ya Allah...
Terima kasih Kau telah memberikan
salah satu malaikatMu kepada hamba
Malaikat yang menjaga dan merawat  hamba
dari kecil hingga usia hamba kini.

Terima kasih Kau telah mengirimkan malaikat
yang paling sempurna kepada hamba
malaikat yang susah payah mendampingi hamba.
menjadikan setiap hari-hari hamba terasa di surga

ibu...
kaulah malaikatku...
berada disampingmu adalah surga bagiku
kau dampingiku di setiap lelap tidurku

orang yang pertama merasakan sakit bilaku terluka
kau yang pertama kali tersenyum bila kubahagia
dan kau yang pertama merasakan

07 Januari 2012

Permintaan Sebuah Diary





Hari yang melelahkan dengan teriknya matahari dan sapuan udara bercampur debu. Daun-daun berguguran lalu terbang tersapu angin. Terlihat sesosok gadis kecil duduk termenung di kursi taman pusat kota. Terdengar teriakan seseorang dari arah belakang gadis itu.
“Dilla…!” Teriakan itu membuat gadis kecil yang ternyata bernama Dilla itu terkejut dan langsung membalikkan tubuhnya.
“Dilla..!!” teriak orang itu lagi. Setelah dia melihat orang yang memanggilnya itu, mukanya tiba-tiba memerah dan sepertinya ada rasa geram darinya.
“Dilla, kamu ke mana saja, Nak? Ayah mencarimu dari tadi pagi. Kenapa tiba-tiba kamu kabur?” Tanya orang itu yang ternyata adalah ayah Dilla sendiri. Dilla tetap diam. Wajahnya tetap murung dengan sedikit tatapan sinis. Ayahnya mencoba bicara lagi. 
“Ayolah, Nak. Beritahu Ayah. Kamu mau apa?” Sang ayah terus membujuknya untuk bicara. Perlahan wajah Dilla mulai kelihatan tenang. Dan ia pun mulai bicara.
“Ayah nggak akan pernah tau apa yang kuinginkan, karena Ayah nggak pernah perhatiin aku. Ayah nggak akan pernah mengerti dan sampai kapanpun Ayah takakan bisa mewujudkannya!” ucap Dilla. Ia mengatakan semua yang ada di benaknya. Perasaan yang dulu ia pendam. Dan sekarang perasaan itu sudah memuncak dan tak dapat dikendalikan lagi.Ayah merengut dan tiba-tiba memarahi Dilla. 
“Apa sih yang kamu mau? Ayah sudah memberikan semua yang kamu minta. Pakaian, handphone, laptop, accessories dan barang-barang lainnya yang Ayah rasa kamu tidak gunakan. Sekarang kamu mau apa? Ayah capek… capek… ngeladenin kamu!”Mendengar ucapan ayahnya, sakit hati Dilla semakin menjadi-jadi. Perlahan air matanya keluar. 

           Tetes demi tetes menggambarkan kehidupannya yang kelam.
“Kalau Ayah memang tak mau ngurusin aku, mendingan Ayah buang saja aku. Biar Ayah nggak capek lagi dan bisa senang-senang dengan kehidupan Ayah yang nggak jelas itu!” Semuanya ia ungkapkan saat itu juga dan akhirnya ia lari pergi meninggalkan Ayahnya.
“Dilla…!!” teriak ayahnya yang lari mengejarnya.Larian panjangnya tiba-tiba berhenti di depan sebuah rumah kecil yang tak layak huni.

        Langkah kakinya bagaikan tersedot rumah itu. Ia mencoba mengetuk pintu rumah itu.Namun tak ada orang yang membukakannya. Ia terus mengetuk pintu itu berkali-kali. Namun tetap tak ada jawaban. Akhirnya ia mencoba membuka pintu itu. Pintunya tidak dikunci. Ketika ia melihat ke dalam rumah itu, betapa terkejutnya ia. Ia melihat seorang wanita tergeletak tak sadarkan diri dari balik dinding rumah itu.

“Bunda…Bunda…!!” teriaknya dengan air mata yang terus menetes.
“Bunda..!Bangun Bunda..! Bangun…” Dilla mencoba menyadarkan wanita yang ternyata ibunya. Ibunya Dilla tetap tidak sadarkan diri. Dilla pun mulai putus asa. Ingin rasanya ia membawa ibunya ke rumah sakit. Namun, ia tidak bisa membawa ibunya sendirian. Dan walaupun ia lakukan itu, yang pasti ibunya akan marah dengannya. Akhirnya, ia merawat ibunya di rumah itu, hingga ibunya sembuh. 
^_^ 




               Sudah dua hari Dilla menginap di rumah itu. Namun ayahnya tak kunjung menjemputnya. Ada dua alasan yang mungkin terjadi dengan ayahnya hingga ayahnya tidak bisa menjemputnya. Yaitu, satu; karena ayahnya tidak tau rumah ini. Dua; karena ayahnya sibuk dengan pekerjaannya.Di rumah kecil itu, Dilla lebih merasa ceria. Karena ia merasa tidak kesepian. Di rumah itu, ia mempunyai teman ngobrol, mencurahkan isi hatinya, berbagi suka dan duka, tertawa bersama dan hal-hal menarik lainnya. Ketimbang di rumah besar yang sunyi, sepi, senyap, hanya bertemankan harta yang tidak berguna. 

           Ibu Dilla sudah sembuh. Dilla pun berpamitan dengan ibunya. Ia takut ayahnya akan marah besar kalau ia tak kunjung pulang. Ia merasa tersiksa dengan perceraian kedua orang tuanya yang berakibat buruk terhadap masa depannya.Sesampainya di rumah, Dilla langsung masuk ke kamarnya, menguncinya, dan seperti biasa, ia mencurahkan isi hatinya dalam buku harian.Malam harinya, ayah Dilla pun pulang. Ia langsung menuju kamar Dilla untuk memastikan anaknya itu sudah pulang atau tidak.Ketika pintu kamar Dilla dibuka, Dilla pun spontan terkejut, ia langsung menyembunyikan buku hariannya .

“Dilla.. Kamu sudah pulang, Nak. Kamu ke mana aja kemarin? Kenapa nggak bilang sama Ayah?” sang Ayah mencoba menginterrogasi Dilla.
“Nginep rumah teman, Yah.” Jawab Dilla singkat.
“Kenapa kamu nginep rumah teman? Emangnya kamu nggak punya rumah?” Tanya ayah dengan nada pelan.
“Ayah! Aku kesepian di rumah ini. Aku tidak merasa bahagia dengan semua harta yang Ayah berikan. Aku cuma minta perhatian dan kasih sayang kedua orang tuaku. Dan kalian selaluu ada di sampingku. Tapi Ayah tidak pernah mengerti apa maksudku!” bentak Dilla. Emosinya memuncak drastis. 

“Terus apa maumu?! Bagaimana Ayah bisa tahu, kalau kamu nggak ngasih tahu Ayah!!” bentak ayah dengan nada tinggi.
Ucapan ayahnya membuat Dilla merasakan sakit yang luar biasa. Sekarang bukan hatinya saja yang sakit, seluruh tubuhnya juga ikut sakit. Dilla merintih kesakitan dan akhirnya pingsan.Melihat sang anak pingsan, sang ayah langsung membawa Dilla ke rumah sakit. Dan langsung ditangani oleh dokter terhandal.Sesaat kemudian, dokter keluar dengan wajahnya yang kelihatan pucat. Ayah Dilla pun menghampirinya.

“Penyakitnya kambuh lagi.” Ucap dokter itu.
“Penyakit??” Tanya Ayah Dilla heran.
“Penyakit leukimianya sudah stadium empat!” Lanjut dokter. 
Seketika itu pun ayah Dilla terkejut.Penyakit leukemia? Stadium empat? Batinnya.
“Maaf, Dok. Setahu saya, anak saya tidak pernah mengidap penyakit leukemia. Apalagi sampai stadium empat. Saya tidak mengerti maksud Anda!” Ucap Ayah Dilla.
“Bapak jangan bercanda. Dilla itu pasien lama saya. Sudah 2 tahun ia saya tangani. Kok Bapak sampai tidak tau masalah ini?” Jelas dokter dengan wajah bingung.

           Ayah Dilla semakin tidak mengerti dengan apa yang dikatakan dokter tersebut.Sudah 2 tahun? Tapi mengapa Dilla tidak pernah mengatakannya? Batinnya lagi.“Dok, boleh saya masuk ke dalam? Saya mau jenguk anak saya!” Pinta ayah Dilla sambil mengarahkan telunjuknya ke kamar tempat anak semata wayangnya itu dirawat.Di dalam kamar itu, ia melihat seorang gadis kecil mempertaruhkan nyawanya melawan sakit yang menderanya. Dimanakah sosok seorang ayah yang dia punya? Mengapa ia tak tau apa yang terjadi dengan anaknya? Apakah batin seorang ayah dengan anaknya tidak terikat? 

                Ditengah lamunannya, ia dibuyarkan oleh secercah suara kecil. Ya, suara Dilla.“Ayah..” ucapnya lemah.“Iya, Nak.” Ujar ayahnya sambil meneteskan air mata.“Ayah.. Aku mau minta sesuatu dari ayah. Aku mau…” 
Ucapan Dilla semakin lemah. Denyut nadinya semakin cepat. Nafasnya terengah-engah. Dan pada saat itu, detik itu, Dilla menghembuskan nafas terakhirnya sebelum mengatakan keinginannya itu.Tangisan langsung meluap dari kedua mata sang ayah. Sampai akhir hayat anaknya, ia tidak dapat mengabulkan permintaan anaknya itu. Dan sekarang ia tidak tau harus bagaimana. Ia tidak tau apa yang anaknya inginkan. Dan ia tidak tau bagaimana mewujudkannya. 
                                                                        ^_^ 




      Dua hari setelah kepergian Dilla, sang ayah terus saja berdiam diri di rumah. Ia sekarang sadar, harta yang paling berharga baginya bukanlah uang tetapi keluarga. Ia pun mencoba mengenang Dilla dengan masuk ke dalam kamar Dilla. Ia membereskan kamar anaknya itu. Ketika ia sedang membereskan tempat tidur, tak sengaja ia menemukan sebuah diary di bawah bantal. Ia pun kemudian membuka diary itu, dan membacanya. 



Deardiary…
Aku tak tau apa yang sedang ku alami. 
Semuanya berubah begitu saja.
Perceraian Ayah dan Bunda telah membuatku larut dalam kegelapan. 
Aku tak bisa melihat masa depanku nanti.
Sekarang aku mencoba menahan penyakit leukemiaku. 
Aku tidak ingin mereka mengetahuinya. 
Aku tidak ingin kedua orang tuaku saling menyalahkan. 
Cukup aku yang merasakan sakit ini.


Deardiary…
Ya Allah…
Kenapa Kau berikan cobaan ini kepadaku?
Kenapa Kau memberikan sakit ke Bundaku?
Kenapa Kau buat Ayah melupakanku?
Kenapa aku tidak pernah bisa menjadi orang yang lebih sabar lagi menahan cobaan ini.
Ya Allah..Yang hambaMu inginkan cuma satu. 
Tolong persatukan keluarga kami lagi.
Tolong satukan Ayah dan Bunda agar Ayah bisa merawat Bunda.
Karena mungkin hamba tidak bisa merawat Bunda lagi.
Karena mungkin Kau akan memanggil hamba. 
Jadi hamba mohon, persatukan keluarga hamba.

Ayah… yang Dilla minta selama ini adalah itu.
Dilla minta Ayah menjemput ibu di rumah kecil di bawah jembatan tua.
Dan Dilla ingin Ayah menjaga dan merawat Bunda untuk selamanya. 
Hingga akhir hayat.
Amiiinn… Ya Rabbal A’lamin. 


         Tetesan air mata berjatuhan. Isak tangis meluap. Sekarang.. saat itu juga ayah Dilla pergi menjemput mantan istrinya itu sesuai kehendak Dilla.Di rumah kecil itu, ia melihat mantan istrinya duduk termenung. Ia pun mendekatinya dan perlahan mengatakan tentang kepergian Dilla.Mendengar berita itu, sang ibu langsung menangis. Ia tak dapat menerima semua itu. Namun, ia pun tidak bisa mengelak takdir illahi. Sesuai keinginan Dilla, kedua orangtuanya pun bersatu kembali.















This entry was posted in

Sinopsis Film Raise Your Voice

Terri Fletcher (Hilary Duff), seorang remaja dengan hasrat untuk menyanyi, telah diterima menjadi sebuah program musik di Los Angeles bersaing untuk beasiswa $ 10.000 sesaat setelah kematian kakaknya Paul (Jason Ritter) tragis dalam kecelakaan mobil. Namun, ayahnya Simon (David Keith), pemilik sebuah restoran generasi kedua, menyetujui rencana Terri, menyatakan bahwa menjadi seorang penyanyi mungkin bukan pilihan hidup yang berharga. Pada kenyataannya, oposisi berasal dari kebencian, Simon menolak beasiswa yang sama untuk menjalankan restoran orang tuanya ketika mereka menjadi sakit, ia adalah terintimidasi oleh pikiran putrinya berkembang di mana ia tidak bisa membawa dirinya untuk mencoba. Namun, ibu Terri, Frances (Rita Wilson), memiliki pendapat yang berbeda, mengetahui bahwa Paul pasti ingin Terri untuk menghadiri program. Frances memberitahu Simon bahwa Terri berencana untuk tinggal bersama bibinya di Palm Desert untuk musim panas dan memungkinkan putrinya untuk perjalanan ke LA.
Terri tiba di Los Angeles dan cuaca beberapa cobaan yang sulit: jaketnya dicuri, sopir taksi dia adalah pemarah, dan ketika dia tiba di sekolah musik, pintu terkunci; sesama mahasiswa Jay (Oliver James) memungkinkan dia dan Terri tiba dengan aman . Sementara di program ini, Terri membuat teman baru dan belajar banyak tentang musik, tapi masalah muncul ketika ia diganggu oleh kenangan dari kecelakaan mobil yang mengambil kehidupan Paul dan membuatnya semakin sulit untuk menjaga partisipasinya dalam program rahasianya dari ayahnya.
Sepanjang film, Terri mengembangkan kesukaan bersama 
Jay, tapi ia menghadapi persaingan dengan Robin Childers (Lauren C Mayhew), yang terlibat dengan Jay musim panas sebelumnya. Meskipun Robin masih mempunyai perasaan untuk Jay, jelas bahwa dia tidak membalas perasaan ini. Jay mencoba untuk menghentikan Robin untuk melaksanakan rencananya memisahkan Jay dan Terri . Suatu hari, Terry marah dengan Jay karena kesalah pahaman. Jay pun mencoba menjelaskannya.  Terry menceritakan tentang kematian kakaknya yang membuat ia menjadi depresi dan sulit untuk menyanyi lagi. Berkat Jay, Terry pun bisa menyanyi lagi dan mereka mempunyai rencan auntuk mengikuti lomba itu bersama.
Di rumah, Ternyata Simon mengetahui rencana isterinya yang mengizinkan Terry sekolah di Bristol Hilman. Pada hari terakhir, Simon datang ke sekolah dengan maksud membawa pulang Terry .Namun, Ibunya memohonnya untuk membiarkan dia menyelesaikan apa yang dia mulai di sini dan tidak membiarkan musim panas pergi ke limbah. Akhirnya, ayahnya mengakui dan Terri mendapat persetujuan untuk membuat lagu, dia berlatih dengan Jay. Hadiah beasiswa ini dimenangkan oleh Denise, dan Simon bangga anak perempuannya dan bakatnya. Guru Terry berharap untuk melihat tahun berikutnya, Simon menjawab bahwa mereka hanya mungkin. 


This entry was posted in